PENGURANGAN
RESIKO BENCANA
Aceh, seperti wilayah Indonesia
lainnya, sangat rentan terhadap ancaman bencana. Dari pantauan United Nations
Development Programme ( UNDP ) atau badan PBB untuk program pembangunan
tercatat ada beberapa jenis bencana yang mengancam Aceh, yaitu:
·
Gempa
bumi
·
Tsunami
·
Banjir
·
Gunung
Meletus
·
Tanah
Lonsor
·
Angin
Putting Beliung
·
Kebakaran
Hutan
·
Kekeringan
·
Penyakit
TBC
·
Demam
Berdarah
·
Flu
Burung
·
Pencemaran
Industri
Dari ancaman tersebut ada empat
bencana yang perlu diperhatikan, yaitu :
v Gempa
Bumi
v Tsunami
v Banjir
v Gunung
Meletus
Dalam pengurangan resiko bencana (
PRB ) menurut Kerangka Aksi Hyogo, ada tiga hal yang perlu diperhatikan :
1.
Mengintegrasikan PRB kesetiap kebijakan dan perencanaan
pembangunan berkelanjutan
2.
Membangun dan memperkuat kelembagaan, mekanisme dan
kemampuan, khususnya masyarakat dalam ketahanan menghadapi bencana.
3.
Memasukan pendekatan PRB secara sistematik dalam
pelaksanaan kesiapsiagaan menghadapi bencana, tanggap darurat dan pemulihan
serta rehabilitasi bagi masyarakat yang terkena bencana.
Dalam konsep PRB, setiap orang tidak
luput dari ancaman bahaya bencana. Namun orang-orang yang tinggal di daerah
rawan bencana memiliki ancaman bahaya yang lebih besar dibanding dengan orang
yang tinggal di daerah rawan bencana. Untuk menghindari dan mengurangi ancaman
bahaya bencana dalam PBR ada empat unsur, yaitu :
1.
Pencegahan
2.
Mitigasi
3.
Kesiapsiagaan
4.
Rehabilitasi dan Rekontruksi
1.
PENCEGAHAN
Pencegahan
terhadap bencana adalah upaya pertama yang harus dilakukan agar masyarakat
terhindar dari ancaman bahaya bencana. Orang yang tinggal di daerah rawan akan
rentan terkena ancaman bahaya bencana. Oleh karena itu diusahakan agar ancaman
bahaya bencana tidak bertemu dengan kerentaan ini, sehingga tidak terkena
resiko bencana.
Orang harus tahu
tindakan yang harus diambil sebelum, selama dan sesudah terjadinya bencana.
Setiap bencana mempunyai kharakteristik sendiri sehingga cara-cara serta
tindakan untuk menghindar dampak bencana, tindakan yang harus diambil sebelu,
sesudah terjadinya bencana juga berbeda-beda. Sebagai contoh, gempa bumi
terjadi karena adanya gerakan di kuli bumi. Gerakan inibisa terjadi karena
gunung meletus atau pergeseran lempeng bumi.
Gerakan ini
kemudian mengguncang permukaanbumi sehingga menimbulkan guncanganhebat yang merusaksemua
yang ada di permukaan bumi, Sampai saatinipara ahli gempatidak dapat menduga
kapanakan terjadinya gempa sehingga tidak bisa memberi peringatan dini.
Bila tanda-tanda itu terjadi, maka
orang yang berada di dalam rumah atau dalam gedung jangan panik, harus segera
keluar dan berada di tempat terbuka dan aman yang jauh dari bangunan rumah,
gedung, pohon besar atau benda lainyang bisa runtuh.
Apabila berada di
dalam rumah dan tidak bisa keluar lindungi kepala dari benda-benda yang jatuh,
berlindung di bawah benda-benda yang kuat yang tahan terhadap runtuhan
bangunan, jangan berada di dekat jendela kaca atau di bawah tangga rumah. Juga
matikan listrik atau kompeter yang menyala dan jangan pakai lilin. Bagi yang
mengendarai mibil atau sepeda motor berhentilah dan menepi, tunggu sampai gempa
selesai. Untuk bencana lain akan lain pula caranya. Ini semua harus dipelajari
sesuai dengan potensi bencana yang bisa terjadi di wilayahnya.
2.
MITIGASI BENCANA
Mitigasi bencana
adalah upaya untuk meminimalisir resiko bencana saat ancaman bahaya bencana dan
kerentanan bertemu. Bagi orang yang tinggal di daerah rawan bencana maka dia
rentan terhadap ancaman bahaya. Oleh karena itu harus dilakukan tindakan
mitigasi untuk memperkecil dampak bila terjadi bencana. Sebagai Contoh, orang
yang tnggal di bantaran sugai akan mempunyai resiko yang lebih besar saat
banjir.
Mitigasinya
adalah membangun rumah yang kokoh dan bertingkatyang kontruksinya tahan banjir.
Sehingga saat terjadi banjir maka rumah akan tahan dari terjangan banjir dan
bisa menghindari banjir dengan naikke bagian rumah yang lebih tinggi. Secara
non fisik, masyarakat seharusnya tidak menggantungkan hidupnya dari mata
pencarian yang menggandung ancaman bahaya bencana.
Untuk memitigasi
dampak bencana, pemerintah harus membangun prasarana fisik dan upaya lain untuk
meminimalisir resiko bencana, seperti :
- Membangun Bendungan
- Checkdam
- Tanggul dan Saluran Banjir Kanal untuk Mencegah
Banjir
- Tanggul untuk menahan aliran lahar gunung berapi
- Menanam pohon bakau dan tanggul pemecah ombak laut
dan erosi
- Membangun
tanggul untuk menahan tanah lonsor
Demikian juga pemerintah harus
membangun prasarana publik, seperti : Jalan raya, Jembatan, Rumah Sakit,
Sekolah, Pasar, Gedung-gedung pemerintah dan olah raga, yang memenuhi standar teknis
tata bangunan ( arsitektur ) dengan mempertimbangkan potensi resiko bencana,
seperti gempa bumi dan banjir. Secara khusus pemerintah harus memiliki dan
membangun alat deteksi dini dan sistim peringatan dini bencana, seperti
aktifitas angin ribut dan putting beliung, gunung berapi, banjir dan tsunami.
3. KESIAPSIAGAAN MENGHADAPI BENCANA
Kesiapsiagaan
menghadapi bencana harus dilaksanakan bila upaya pencegahan dan mitigasi
bencana tersebut di atas telah dilakukan. Namun, terjadinya bencana tidak dapat
dielakkan. Jadi bagi mereka yang tinggal di daerah rawan bencana harus selalu
siap siaga menghadapi bencana. Untuk mendukung masyarakat maka pemerintah
daerah juga harus selalu siap siaga. Pemerintahdaerah harus mempunyai,
menyediakan dan menyebarkan informasi tentang Penilaian Resiko Bencana di
wilayahnya.
Data dan
informasi ini meliputi ancaman bencana dan kerentanan yang ada, analisis resiko
bencana, penentuan tingkat resiko bencana, dan pemetaan wilayah resiko bencana.
Penilaian ini juga termasuk kemampuan dan kondisi sosial serta ekonomi
masyarakat di daerah rentan bencana. Dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana,
pemerintah daerah harus mempunyai perencanaan siaga ( contigensy planning )
dengan membuat skenario kejadian untuk tiap jenis bencana dan dibuat kebijakan
penanganannya, dikaji kebutuhannya, diinventarisasi sumberdayanya disetiap
sektor.
Hal yang juga
penting dalam kesiapsiagaan adalah peringatan dini. Tentu saja alat untuk
mengamati gejala bencana harus dibangun dan dipasang, dioperasikan dan dikelola
dengan baik. Untuk mendukung ini, alat penyebaran informasi peringatan dini (
Telepon, Radio Baterai, Hady Talky/HT ) harus tersedia baik di pemerintahan
setempat maupun masyarakat. Ujicoba atau simulasi dan latihan sistem peringatan
dini dan evakuasi harus dilakukan secara berkala dan rutin dilapangan dan
sekolah untuk menguji tingkat kesiapsiagaan dan membiasakan diri para petugas
dan masyarakat.
4.
REHABILITASI DAN REKONTRUKSI
Pelaksanaan
kegiatan rehabilitasi dan rekontruksi pasca bencana harus dilaksanakan dalam
kerangka pengurangan resiko bencana untuk menghadapi bencana yang akan datang.
Dalam membangun kembali daerah pasca bencana, pemerintah daerah harus
mempertimbangkan RTRW bedasarkan analisis resiko bencana, yang antara lain
meliputi rencana sruktur, pola ruang wilayah, dan penetapan kawasan.
Pembangunan dan
membangun kembali sarana dan prasarana mitigasi yang rusak harus dalam rangka
PRB. Ini termasuk membangun bendungan, gheckdam, tanggul dan saluran banjir
kanal untuk mencegah banjir, tanggul untuk menahan aliran lahar gunung berapi,
menanam pohon bakau dan tanggul pemecah ombak laut dan erosi, dan tangguluntuk
menahan tanah lonsor. Juga dalam membangun kembali dan memperbaiki prasarana
dan sarana publik, seperti : jalan raya, jembatan, rumah sakit , sekolah,
pasar, gedung-gedung kantor pemerintahan dan olahraga harus memenuhi standar
teknis tata bangunan ( Arsitektue ) serta pemakaian alat yang lebih baik.
Dalam membangun
kembali dan memperbaiki rumah masyarakat, juga harus memenuhi standar teknis
tata bangunan ( Arsitektue ) dengan mempertimbangkan potensi resiko bencana.
Sejalan dengan ini pemerintah daerah pada pasca bencana harus melaksanakan
kegiatan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada sumber mata pencarian
yang tidak aman dan rawan bencana.